Kulawi adalah sebuah suku bangsa yang berdiam di wilayah Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah. Orang Kulawi menganut sistem kekerabatan bilateral1, yaitu menarik garis keturunan dari ayah maupun ibu. Konsekuensi logis dari sistem kekerabatan bilateral, sebagaimana yang dianut oleh sebagian besar suku bangsa di Indonesia, adalah bahwa setiap anak (laki-laki maupun perempuan) akan mempunyai hak relatif sama atas harta peninggalan orang tua2.
Adat perkawinannya memakai percampuran antara matrilokal dan patrilokal. Matrilokal mulai berlaku ketika pasangan baru saja menikah dengan menetap atau tinggal di sekitar kediaman kerabat isteri. Tetapi ketika anak pertama lahir, mereka akan pindah atau menetap di sekitar kediaman kerabat suami (patrilokal). Sekarang adat matrilokal dan patrilokal sudah mulai ditinggalkan. Para pasangan muda Kulawi lebih memilih adat menetap neolokal dengan membuat rumah baru yang terpisah dari lingkungan kerabat kedua belah pihak.
Pergeseran budaya tersebut tidak hanya terjadi pada adat menetap sesudah nikah saja, melainkan juga pada sistem pelapisan sosialnya yang mulanya terdiri atas lima golongan, yaitu: (1) Madika, terdiri atas raja dan para bangsawan; (2) tetua ngata, terdiri atas para penasihat agama dan adat; (3) ntina, terdiri atas pegawai kerajaan dan golongan menengah lainnya; (4) ntodea, terdiri atas pekerja, petani, dan orang kebanyakan; dan (5) golongan batua yang terdiri atas tawanan perang, budak, dan mereka yang dianggap sebagai pengkhianat1.
Seiring dengan perkembangan zaman, terutama setelah masuknya agama Kristen, sistem pelapisan di atas mulai luntur atau bahkan menghilang. Penggolongan masyarakat ke dalam kelas batua sudah tidak ada lagi, sementara kelas lainnya hanya sebagai simbol status saja yang tidak begitu berpengaruh lagi. Mereka lebih memilih sistem pelapisan sosial yang lebih bersifat terbuka dan didasarkan pada usaha atau pencapaian individu (achieved status).
Namun, tidak seluruh aspek dalam kehidupan orang Kulawi mengalami pergeseran akibat adanya pengaruh dunia luar. Misalnya, walau telah memeluk agama Kristen, tetapi unsur kepercayaan lama yang bersifat animisme dan dinamisme masih tetap dipertahankan dalam beberapa upacara tradisional yang berhubungan dengan daur hidup seorang individu, seperti Rakeho, Popanaung, Ratoe, dan lain sebagainya.
Rakeho adalah upacara masa peralihan bagi seorang laki-laki dari masa kanak-kanak menuju dewasa dengan prosesi meratakan gigi bagian depan atas dan bawah serata dengan gusi. Melalui upacara ini seorang laki-laki akan dianggap sebagai orang dewasa yang pada gilirannya akan mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama, sebagaimana anggota masyarakat lainnya (lebih jelasnya lihat di sini). Sementara Popanaung adalah upacara masa peralihan bagi seorang bayi dari masa dalam kandungan ke kehidupan nyata di dunia. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan sang bayi kepada dunia luar (fana) sekaligus sebagai ungkapan rasa syukur orang tua atas karunia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa (lebih jelasnya lihat di sini).
Sedangkan Ratoe yang berarti menaiki ayunan hampir mirip dengan Popanaung tetapi hanya dilaksanakan untuk anak pertama saja. Tujuannya adalah untuk menjaga keselamatan bayi serta agar bentuk badan terutama kepala menjadi bulat (tidak lonjong/benjol)3. Dalam artikel ini akan diuraikan upacara Ratoe yang meliputi: waktu upacara, peralatan yang digunakan dalam upacara, tata laksana atau jalannya upacara, dan nilai budaya yang terkandung di dalamnya.
Waktu, Tempat, Pemimpin, dan Pihak-pihak yang Terlibat dalam Upacara
Upacara Ratoe harus dilaksanakan pada saat bayi baru berumur tiga hari. Apabila lebih dari tiga hari upacara ditiadakan karena hari-hari berikutnya akan ada upacara lain yang harus dilalui oleh si bayi. Adapun waktunya pada pagi hari dengan harapan agar kelak si bayi akan memiliki masa depan cerah, secerah sinar mentari pagi. Tempat upacaranya di dalam rumah, terutama yang bagian atasnya dapat dipasang kayu melintang untuk menggantung ayunan.
Prosesi upacaranya sendiri dipimpin oleh sando mpoana atau dukun beranak. Apabila sang dukun hanya dapat membantu dalam proses persalinan saja, maka pemimpin upacara dapat juga berasal dari salah seorang totua nungata (tetua kampung) yang memiliki sifat baik dan bertangan dingin agar si bayi dapat tetap tenang ketika berada di ayunan. Dalam melaksanakan tugasnya sando mpoana atau totua nungata (tetua kampung) dibantu topotoe (orang yang khusus ditunjuk untuk memasang ayunan), tupu (nenek), sanak kerabat, serta para tetangga terdekat yang membantu mempersiapkan segala macam peralatan dan perlengkapan upacara atau hanya sekadar sebagai saksi.
Peralatan Upacara
Peralatan dan perlengkapan yang perlu dipersiapkan dalam upacara Ratoe adalah: (1) sebuah toe dari balovatu (bambu besar) atau volo (bambu kecil) yang diikat sedemikian rupa menggunakan valo vake (kulit pohon waru) hingga menjadi ayunan; batang pohon langsat yang langara (lentur) dan elastis sebagai tempat menggantung toe; kelambu dari nunu (kulit pohon beringin); luna (bantal); mbesa (kain dari kulit kayu); kain nunu yang di dalamnya diisi avu (abu dapur); dulang tidak berkaki yang nantinya akan diletakkan di dengat pinggul bayi sebagai tempat menampung kotoran; dan ambe atau pelepah enau sebagai wadah untuk menyalurkan kotoran ke dalam dulang yang diletakkan di bagian bawah ayunan agar mudah dijangkau.
Jalannya Upacara
Ketika bayi telah berumur dua hari, orang tua serta keluarga besarnya akan bermusyawarah dengan sando mpoana atau totua nugata untuk menentukan lokasi atau tempat memasang batang pohon langsat penggantung toe. Ada dua kriteria dalam penentuan lokasi pemasangan toe. Pertama, harus berada di bagian rumah yang dapat memberikan ketenangan bagi si bayi sehingga bila telah berada dalam ayunan dapat tertidur dengan lelap. Dan kedua, ayunan juga tidak boleh berada di bawah sambungan atap rumah karena membuat bayi akan merasa terhimpit. Menurut kepercayaan orang Kulawi sambungan atap rumah merupakan simbol terputusnya rezeki. Jadi, apabila ayunan digantung tepat di sambungan atap rumah, maka si bayi kelak rezekinya akan seret atau tidak lancar.
Setelah toe terpasang, Sando Mpoana akan mengawali pelaksanaan upacara dengan memandikan si bayi menggunakan air sungai yang masih jernih. Tujuannya adalah agar perjalanan hidupnya kelak dapat selancar dan sejernih air sungai, tanpa mengalami hambatan atau rintangan yang berarti. Selesai dimandikan, si bayi diselimuti mbesa lalu dibawa menuju toe secara sangat hati-hati agar jangan sampai menangis. Apabila menangis, upacara harus diulang lagi atau bahkan dibatalkan karena dianggap belum siap berada di ayunan.
Sesampainya di depan ayunan, Sando Mpoana akan meletakkan si bayi secara perlahan sambil bernogane atau membaca mantera "Kupopehuako rigana ri toe, moa mahata nipohaviraka ilolo taena, maraha paletana" yang berarti "Kunaikan anak ini dengan hati-hati ke dalam ayunan agar dapat tidur dengan nyenyak". Kemudian, acara dilanjutkan dengan makan bersama sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Makan bersama ini merupakan akhir dari serentetan rangkaian dalam upacara ratoe atau naik ayunan pada masyarakat suku bangsa Kulawi.
Nilai Budaya
Ada beberapa nilai yang terkandung dalam upacara adat Ratoe. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan, ketelitian, gotong royong, keselamatan, dan religius. Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian besar anggota masyarakat dalam suatu tempat untuk makan dan doa bersama demi keselamatan bersama pula. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya (dalam arti luas). Oleh karena itu, upacara ini mengandung pula nilai kebersamaan. Dalam hal ini, kebersamaan sebagai komunitas yang mempunyai wilayah, adat-istiadat dan budaya yang sama.
Nilai ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak hanya menyangkut peralatan upacara, tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semuanya harus dipersiapkan dengan baik dan seksama, sehingga upacara dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian.
Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin upacara, dan lain sebagainya.
Nilai keselamatan tercermin dalam adanya kepercayaan bahwa peralihan kehidupan seorang individu dari satu masa ke masa yang lain penuh dengan ancaman (bahaya) dan tantangan. Untuk mengatasi krisis dalam daur kehidupan seorang manusia itu, maka perlu diadakan suatu upacara. Ratoe merupakan salah satu upacara yang bertujuan untuk mencari keselamatan pada tahap peralihan dari masa dalam kandungan menuju dunia fana. (ali gufron)
Sumber:
1. "Pengertian Patrilinel, Matrilineal dan Bilateral", diakses dari http://chachanomarisu.blogspot.com/2012/11/pengertian-patrilinel-matrilineal-dan.html, tanggal 29 Januari 2015.
2. "Mengenal Subu-Bangsa Kulawi", diakses dari http://ok-review.com/mengenal-suku-bangsa-kulawi/, tanggal 29 Januari 2015.
3. "Ratoe", diakses dari http://telukpalu.com/2007/11/ratoe/, tanggal 27 Januari 2015.
Judul: Ratoe, Upacara Naik Ayunan Orang Kulawi
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh 06.03
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh 06.03